Wednesday 12 June 2013

APAKAH! Sudanco Supriyadi Masih Hidup?


 APAKAH! Sudanco Supriyadi Masih Hidup?

 


Saat SD, SMP, hingga SMA dulu, kita sering membaca buku sejarah yang menceritakan perjuangan salah satu pejuang kemerdekaan, Sudanco Supriyadi, salah satu tokoh gerakan PETA di Blitar yang berjasa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Jelang Dirgahayu RI ke 63 tahun 2008 ini, ada berita heboh yang memberitakan Supriyadi ternyata masih hidup, tidak gugur atau menghilang seperti yang selama ini diceritakan dalam buku-buku sejarah. Berikut artikelnya yang aku kutip dari harian Surya.
Pengakuan warga Semarang Andaryoko Wisnu Prabu, 88, bahwa dirinya adalah Supriyadi, pahlawan nasional yang dinyatakan hilang usai melawan Jepang pada 1945, menimbulkan pro-kontra. Di tengah polemik itu, misteri Supriyadi selama ini justru telah menjadikannya sebagai mitos. Setidaknya bagi warga Blitar.

“Apakah kira-kira Supriyadi memang punya ilmu, ngelmu?” Pertanyaan iseng itu saya ajukan kepada Ki Utomo Darmadi, adik tiri pahlawan nasional Supriyadi yang bermukim di Jakarta, setahun lalu.
Utomo, anak Raden Darmadi (Bupati Blitar di zaman kemerdekaan), lantas tersenyum. Dia kemudian menyebut nama Pangeran Diponegoro. Katanya, Diponegoro itu tentu punya ngelmu. “Tapi nyatanya dia bisa ditangkap Belanda,” tegas Utomo.
Saya memahami maksud Utomo. Ia mungkin seorang yang percaya urusan magis tapi dalam hal kematian Supriyadi, Utomo yakin kakaknya sudah dibantai tentara Jepang.
Keyakinannya konsisten sampai sekarang.
Utomo, yang kini berusia 78 tahun, punya kisah lain waktu ikut rangkaian pertempuran 10 November 1945. Itu berarti sembilan bulan setelah pemberontakan gagal sudancho (sebutan komandan peleton) Supriyadi di Blitar, 14 Februari 1945.
Sebagai pemuda belasan tahun, Utomo bersama pasukannya terdesak sampai Porong, Sidoarjo. Tapi, ketika pasukan NICA dan Belanda merangsek ke Selatan, kawan-kawannya mendorongnya supaya bertempur di garda depan.
“Kamu di depan, kan adik Supriyadi, bisa menghilang,” cerita Utomo. “Menghilang apanya, wong saya malah ngompol kok,” kenangnya, tertawa.
Tapi cerita Supriyadi bisa menghilang memang sedemikian mengakar. Apalagi di Blitar, tempat para anggota Pembela Tanah Air (PETA) pertama kali membangkang Jepang dengan pimpinan Supriyadi. Cerita soal Supriyadi itu bisa muncul dalam obrolan warga Blitar dari tahun ke tahun. Jadinya mirip dongeng.
Ada banyak versi pula. Mulai dari Supriyadi moksa atau menghilangkan diri di Gunung Kelud atau Gunung Kawi. Ada juga yang percaya Supriyadi masih hidup dan tinggal di kawasan pegunungan Blitar atau Malang Selatan. Justru, kisah detail soal pemberontakan itu malah tenggelam dan memang tidak menarik jadi bahan obrolan ringan.
Namun, bagi warga Blitar dari generasi yang lebih muda, kisah moksa Supriyadi itu malah jadi bahan guyonan. “Supriyadi itu bisa menghilang tapi tak bisa kembali,” kata mereka.
Tapi untuk generasi sepuh, cerita ihwal daya linuwih atau kelebihan Supriyadi tetaplah mempesona. Bahkan, ada yang percaya Supriyadi akan muncul lagi ketika situasi zaman sudah kelewat gawat. Ya, Supriyadi adalah Ratu Adil, mimpi khas mesianistik purba yang terdapat dalam hampir semua bangsa.
Tapi bagaimanapun, Supriyadi adalah tokoh nyata, anak bangsa yang coba melawan penindasan Jepang meski akhirnya gagal. Sebagaimana Sukarno yang juga dari Blitar, jejak-jejak Supriyadi masih bisa diziarahi hingga kini.
Mulai dari asrama pasukannya yang kini jadi gedung sekolah hingga lokasi rumah guru spiritualnya, Mbah Bendo. Ada pula Wisma Darmadi, bekas rumah dinas ayahnya, Raden Darmadi, yang jadi Bupati Blitar selepas proklamasi kemerdekaan RI.
Wisma itu tak jauh dari makam Sukarno. Supriyadi dan Sukarno kebetulan sama-sama punya keterkaitan dengan Blitar dan berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan. Perbedaannya, Sukarno bisa berkolaborasi dengan Jepang, sedangkan Supriyadi akhirnya melawan.
Tapi Sukarno dalam biografinya oleh Cindy Adams mengaku tahu rencana Supriyadi memberontak di Blitar, bersama-sama tokoh PETA Blitar lainnya. Mulai dari seperti sudancho dr Ismangil, sudancho Soeparjono, sudancho Moeradi, budancho (komandan kompi) Soedarmo, budancho Halir Mangkoedidjaja dan budancho Soenanto.
“Bagi orang Jepang, pemberontakan PETA merupakan peristiwa yang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Sukarno tidak. `Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku di Blitar`,” kata Sukarno seperti tertulis dalam biografinya 

No comments:

Post a Comment